Posted on

Bersahabat denganya


Tar mulai heran sudah berulang kali ia berteriak memanggil para sahabatnya tetapi tak ada sahutan, sampai parau suaranya. Tar mulai curiga jangan-jangan telah terjadi sesuatu terhadap para sahabatnya. Naluri kepramukaannya untuk menelusuri kemana gerangan perginya para sahabat, timbul. Penyelidikan dengan menggunakan kaca pembesar dimulai!

Di salah satu sudut hutan, dibawah kerimbunan pepohonan mahoni, tampak serumpun tanaman perdu rusak berantakan bagaikan habis terinjak-injak oleh segerombolan manusia. Ranting-ranting pohon banyak yang patah, lokasi itu benar-benar acak-acakkan, sepertinya disitu baru saja terjadi pergulatan. Tar yakin pergulatan itu terjadi antara ketiga sahabatnya Sharmila, Olivia dan Miranda dengan segerombolan manusia bar-bar tak beradab. Mereka telah diculik! Semoga mereka tidak disiksa! Tar sangat sedih, hatinya gundah gulana, ternyata apa yang ia takuti selama ini terjadi juga. Pikirannya merekonstruksi peristiwa yang baru saja dialami ketiga sahabatnya. Hati Tar teriris-iris, dia marah, benci, sakit hati, gondok! Dia berteriak dan mengamuk sejadinya, hah, hah, hah, haaaaaaaaaaaahhhhhhh………….haaaaaaaaaaaahhhhhhhh, mengacak-acak dan merusak apa saja yang dapat diraihnya. Hanya ada satu cara yang dia ketahui untuk menyelesaikan masalah, hukum rimba, dengan kekuatan fisik semua dapat diselesaikan, yang kuat yang menang! Kebetulan postur tubuh Tar yang tinggi besar dan sabuk hitam yang dia miliki sudah sering kali menjadikan dia sebagai jawara di lingkungannya. Hah, hah, haaaaaaaaaaahhhhh……………Tar terus berteriak sampai sakit kepala. Seluruh energi sudah dikeluarkan, ternyata hanya rasa lelah yang ia dapatkan. Permasalahan bukannya selesai malahan bertambah amburadul. Kemarin akibat peristiwa penculikan itu hanya dirinyalah yang merasa gelisah tetapi kini setelah hukum rimba ia tegakkan para tetangga menjadi terganggu, ikut gelisah. Kegelisahan satu orang telah menyebar kemana-mana, kayak swine flu aja, cepat menyebar dan berkembang biak!

Tar bersandar dibatang pohon mahoni kelelahan, menyerah kepada keadaan, tak tahu lagi apa yang harus diperbuat, dia tercenung. Cape…,deh! Ketika tercenung itulah dia mendengar bunyi-bunyian dari dasar hatinya. Dia terkejut ketakutan, suara apa tuch! Seumur-umur dia tak pernah kenal suara itu, tapi entah mengapa meskipun ketakutan dia tergoda untuk mendengarkannya lebih jauh. Jauh kedalam diri semakin melarutkan diri ke dalamnya, ternyata yang terdengar adalah suara yang merdu, sebuah lagu cinta. Lambat-laun Tar mulai menyadari ternyata sebenarnya suara itu adalah suara yang selalu menemani dia ketika kanak-kanak, suara yang selalu memberikan petunjuk ketika dia tertimpa masalah, suara yang selalu menuntunnya disetiap langkah kemanapun dia pergi, suara itu selalu benar adanya.

Sekarang dia tahu bagaimana menghadapi kasus penculikan itu, berusaha semaksimal mungkin, serahkan hasil akhirnya kepada Sang Maha Agung, pemelihara segenap alam semesta, hanya kepada Dialah aku berlindung, hanya Dialah yang mampu menyelesaikan segalanya. Tar tercerahkan! Wajahnya mendadak jadi bling-bling!! Dia jatuh tertidur zzzzz……zzzzzz…….asyik banget!!!!!!

“Koran…koran….koran….., korannya pak!”.
“Bang, koran bang, ada koran Suara Hati, gak!”
“Nggak ada pak, sudah nggak terbit lagi!”
“Kenapa?”
“Ya….nggak laku lah youww, haree genee!”
“Sekarang yang ada koran apa?”
“Koran Suara Siapa!”
“Ya sudah, saya beli satu”
“Ini pak korannya, 5000 perak!”
Sepeninggal para sahabatnya praktis Tar sering sendirian, bengong nggak punya kerjaan. Sudah delapan minggu kerja dia cuma baca koran, lama-lama bosan juga karena beritanya begitu-begitu aja! Artis A selingkuh dengan pejabat B, artis C bercerai, kakek memperkosa anak gadis dibawah umur, atap ruang kelas SD ambruk, harga sembako naik, hutang negara bertambah, para wakil rakyat minta tambahan fasilitas, para calon pemimpin obral janji, paling-paling yang menarik hanya ikan lowongan kerja.

Tar sekarang semakin nggak punya kerjaan, baca koran malah bikin bete, isinya standar-standar aja, nggak ada perubahan, nonton TV samimawon, beritanya kalau bukan tentang, kekerasan, perselingkuhan, ya cerita hantu, pocong dkk. Yang paling enak ternyata memejamkan mata, mendengarkan suara merdu dari dasar hati, nikmaaaaaatttt sekali! Wis, jan enak tenan!

Dikeheningan pagi Tar memejamkan mata, ia mulai merasakan alam yang semakin bersahabat, atau tepatnya Tar mulai bersahabat dengan alam. Dia mulai mensyukuri hidupnya, mesyukuri indahnya alam semesta, melihat pohon tidak sekedar pohon, seolah-olah semua berjiwa sehingga Tar makin mencintai pohon itu, begitu juga ketika ia melihat hewan, batu, sungai, gunung dan langit. Tar makin mencintai apa yang ada disekelilingnya, seluruh alam semesta kini adalah sahabatnya, dia tidak kesepian lagi, dia berdenyut bersama alam!

Tar makin jarang membeli koran, koran kemarin mau dibuang ke hutan nanti malah mencemari hutan (biarpun Tar tak berpendidikan tinggi tapi dia sadar lingkungan, lho!). Ia jadi teringat akan kursus yang pernah diikutinya ‘mendaur ulang kertas bekas’. Tar punya ide, daripada koran bekas yang sudah lebih dari 2 kg itu bertumpuk menjadi sampah tak berguna, lebih baik didaur ulang saja. Selain bisa membantu melestarikan hutan, alih-alih bisa menambah uang saku (bukan buat beli pulsa, lho?). Ide bagus itu ia sosialisasikan kepada para tetangganya. Jadilah desa yang tadinya tak nampak adanya tanda-tanda kehidupan kini marak kembali, semua warganya sibuk mendaur ulang sampah! Keadaan desa yang dulu jorok penuh sampah kini menjadi bersih, rapi nan asri dan perekonomian desa yang selama ini berada dibawah garis kemiskinan, terangkat sudah!

Berkat Tar, desa dimana Tar tinggal telah berubah, masyarakat berkembang makmur. Warganya sudah gak sudi lagi mencari peruntungan jadi TKW, yang seringkali buntung daripada untung! Tar saat ini jadi ngetop bak selebriti, dia dielu-elukan oleh masyarakat sekitar karena dianggap telah berjasa meningkatkan ekonomi rakyat. Mulailah banyak yang mencalonkan Tar menjadi wakil rakyat, menteri, duta anu, ketua asosiasi anu, tapi Tar sih, cuek aja, gak ke GR-an! Dia sudah happy dengan keadaannya sekarang, dia tidak butuh segala puja-puji, yang dia butuhkan adalah kebersamaan dengan Sang Pencipta, yang dia lakukan kini hanya memuja Sang Pencipta.

Sudah tiga bulan para sahabat Tar, si Sharmila, Olivia dan Miranda hilang tak berbekas, entah angin surga dari mana yang membuat Tar berinisiatif membeli koran lagi. Iseng-iseng dia bolak-balik halaman demi halaman. Tiba-tiba pada halaman ke 11, matanya tertumbuk pada sebuah foto yang memuat 3 sosok yang amat ia akrabi, foto para sahabatnya yang hilang diculik. Dibawah foto itu tertera berita singkat:

‘3 ekor orang hutan berhasil diselamatkan dari upaya penyelundupan, mereka tampak ketakutan. Kini mereka sementara waktu berada dipusat penangkaran Kebonbin Ragunan sebagai upaya rehabilitasi sebelum akhirnya dikembalikan ke habitatnya’.

Membaca berita itu, Tar menangis terharu, langsung ia sujud syukur kepada Sang Khalik. Ternyata rasa cintanya selama ini kepadaNYA membuahkan hasil. Thanks God!

Begitulah Tarsan, dia berbeda dari orang kota, ketika didera masalah, dia tidak pernah melupakanNYA, dia tidak mencari pelarian dengan dugem, ajeb…ajeb….Lain hal dengan orang kota yang pikirannya sudah penuh polusi, tidak pernah sadar kalau dirinya bermasalah, malah mencari pembenaran terhadap tindakannya, cuap-cuap kiri, cuap-cuap kanan menyebarkan virus ketidaksadaran………………………………apa iya ya?

NB: Oiya, foto-foto diatas adalah hasil karya daur ulang kertas yang Tar lakukan bersama masyarakat sekitar.

Posted on

Tak Ada Kata Terlambat


Pagi ini, aku Caresta membesuk tante Yohana di kamar nomor 631 disebuah rumah sakit swasta, kulihat tante sedang tertidur, disisinya tergantung botol infus, wajahnya tampak menguning. Di sana aku berjumpa dengan mamiku, mamikulah yang selama ini rajin merawat tanteku, kakak kandungnya sendiri.
“Gimana mi, khabarnya Tante Yohana?”.
“Ini botol terakhir, mudah-mudahan Tante Yohana besok atau lusa sudah boleh pulang”.
Sepertinya mustahil lusa tanteku sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya terbilang parah.
“Tapi mi, sudah diinfus cairan albumin, kok tante masih lemah aja, malahan bertambah parah!”.
Sudah lima hari ini aku tidak membesuk Tante Yohana karena selama 5 hari ini aku terserang radang tenggorokan.
Hari ini begitu banyak perubahan yang terjadi pada tanteku, perubahan yang tidak menggembirakan. Ketika kulihat wajah tante tertimpa sinar matahari pagi, aku begitu terkejut akan perubahannya.
“Mi, wajah tante kok kuning banget, benar-benar kuning seperti kunyit!”, bisikku pada mami.
“Dan lihat juga mi, perut tante kok jadi gedeee……banget, nggak kayak 5 hari yang lalu waktu tante baru masuk rumah sakit”.
“Sebenarnya tante sakit apa sih mi, Caresta yakin tante nggak sekedar sakit hepatitis”.
“Ya sudah, sementara tantemu tertidur, kita kebawah menemui Dokter Joko Maryono”.

Kami bergegas menuju lift turun kelantai dasar, menuju ruang praktek Dokter Joko Maryono, ruang poli penyakit dalam. Siang itu tidak begitu banyak pasien mengantri, sehingga kami dapat lebih leluasa untuk berkonsultasi dengan dokter. Kuketuk pintu ruang prakteknya tuk…tuk…tuk….
“Silahkan masuk”.
Kami segera masuk dan tersenyum kepada dokter. Aku memang cukup akrab dengan dokter Joko karena dia bisa dibilang adalah dokter keluarga kami.
“Dok, sebenarnya Mbak Yohana itu sakit apa sih, kenapa keadaannya semakin memburuk?”, sambat mamiku.
“Dari hasil pemeriksaan darah dan USG dapat dipastikan Ibu Yohana sudah terkena kanker hati stadium lanjut, kankernya sudah menyebar kemana-mana!”.
“Lalu tindak lanjutnya apa dok?”, tanya mami penuh harap.
“Maaf bu, sepertinya tidak ada!”.
“Mengapa tidak dikemoterapi dok?”.
“Fisik Ibu Yohana tidak akan kuat menerima cara pengobatan itu, dan kemoterapi tidak akan membantu”.
“Tidak ada pengobatan yang dapat kami lakukan bu, sekarang yang dapat kami upayakan hanya meningkatkan kualitas hidup pasien dengan memberikan nutrisi dan vitamin”.
“Jadi kapan tante saya boleh pulang dok, lalu perawatan apa yang harus kami lakukan jika tante sudah kembali ke rumah?”, tanya Caresta.
“Besok sudah boleh pulang dan berikan makanan yang bergizi, jauhkan dari stres dan tentunya kita banyak berdoa”.
Rencananya besok pagi Tante Yohana akan keluar dari rumah sakit, berarti besok mami dan aku harus datang lebih awal untuk membereskan masalah administrasinya.

Pagi ini kami datang sedikit agak kesiangan, biasa……..aku paling susah kalau harus bangun pagi.
“Mi, memangnya biaya untuk rumah sakitnya udah ada?”.
“Ada, kemarin kan kita sudah kumpulin dari tante-tante, oom-oom dan keponakan-keponakan, paling-paling juga kurang sedikit”.
Bergegas aku ke bagian administrasi membereskan tagihan rumah sakit selama tante dirawat. Begitu petugas bagian administrasi memberikan print out rincian biayanya…..aku melongoooo…..
“Wah, banyak sekali, nggak salah nih, duitnya nggak cukup!”. Kuurungkan membayar tagihan itu, kembali aku menemui mami.
“Mi, duitnya kurang!”.
“Aduh, dari mana lagi ya, semua sudah ditarikin iuran?”, ujar mami bingung.
“Mami gimana sih, Tante Yohana kan masih punya anak Adit, semestinya mami minta ke-dia dong?’.
“Caresta sebel banget ama itu anak, sejak ibunya sakit dia selalu lepas tangan, disuruh jaga alasannya macem-macem, apalagi disuruh mikirin biaya, kayaknya seneng kalau ibunya menderita!”.
“Mi, sebenernya Adit tahu nggak sih kalau Tante Yohana nggak ada harapan lagi?”.
“Belum!”.
“Aneh, sebagai anak semata wayang dan sama-sama tinggal di Bandung, Adit seharusnya lebih tahu kondisi ibunya daripada kita ini!”, kata Caresta jengkel.

Sebenarnya Caresta tidak masalah harus mengurus Tante Yohana, banyak kenangan indah dimasa kanak-kanak dulu yang Caresta alami bersamanya. Tante Yohana memang sangat menyukai anak-anak, dia dekat dengan para keponakannya yang jumlahnya 2 lusin. Ketika masih kecil setiap liburan sekolah, Caresta bersama saudaranya sering bertandang ke rumah Tante Yohana, mereka kemudian asyik jalan-jalan membeli mainan dan balon gas. Setelah lebih besar Caresta sering ditemani jalan-jalan naik kereta api ke rumah oma di desa .Kenangan yang indah, tapi aneh mengapa kenangan itu tak berbekas pada anaknya sendiri , Adit!. Mengapa Adit begitu membenci ibunya dan mengapa Tante Yohana sering meninggalkan Adit sejak dia kecil?.
“Mi, kenapa sih Adit begitu membenci ibunya?”.
“Mami nggak tahu-tahu amat, tapi setahu mami sejak Adit masih kecil tantemu itu sering kali meninggalkan dia, hampir setiap hari tante keluar rumah dan sejak tante masih kanak-kanak tante memang nggak betahan tinggal di rumah, hal itu terus berlanjut sampai dia tua”.
“Tantemu sejak kecil selalu tampak gelisah, duduk tidak pernah tenang, bicara dan jalan selalu tergesa-gesa, sepertinya ada sesuatu di dasar hatinya yang menggelisahkan”.
“Mungkin dibawah sadarnya, setiap hari tantemu keluar rumah hanya untuk menghindari dari rasa gelisah itu, tapi ternyata itupun nggak bisa membantu, sekarang malahan rasa gelisah menjelma menjadi kanker!”.
“Jadi akibat kebiasan tante itu, membuat Adit merasa terbuang, merasa tidak diperhatikan?”.
“Benar, apalagi sejak SMP orangtuanya praktis tidak bekerja lagi tanpa alasan yang jelas, dan untuk memenuhi kebutuhannya, Adit terpaksa harus minta dari orang lain”.
“Ooo…..jadi kemudiaan Adit memilih tinggal bersama Oom Pras di Surabaya, Adit sudah seperti anak Oom Pras sendiri”.
“Pantesan Adit begitu dekat dengan Oom Pras dan Oma, beda banget sikapnya dengan orang tuanya, seperti sama orang asing aja!”.
“Eh, jadi keasyikan ngobrol nih!”.
“Gimana dong mi kekurangan duitnya?’.
“Mami mendingan telepon Oom Rus aja soal kekurangannya, terus abis itu telepon ke Adit supaya cepat kemari biar dia tahu keadaan ibunya yang sesungguhnya”.
Segera mami menelpon Oom Rus lalu Adit. Untuk sementara masalah biaya bisa ditalangi oom Rus dan ternyata Adit sekarang sudah berada di lobby rumah sakit. Kami janjian bertemu disana.

Terjadi pertemuan dan percakapan antara mamiku dan Adit di lobby utama Rumah Sakit Boromeus tempat Tante Yohana dirawat.
“Tante Carla, bagaimana keadaan ibu?”, tanya Adit penuh keingintahuan.
“Dit, Tante Carla ingin bicara sebentar ada hal penting yang perlu kamu ketahui tentang kesehatan ibumu”, kata mami lembut.
Mami berbicara panjang lebar kepada Adit, bla…bla….bla…bla….bla….bla….
“Jadi……..ibu sakit kanker, nggak ada harapan lagi…….?”, isak Adit tertahan.
Aku terheran-heran ternyata Adit bisa nangis juga, aku pikir selama ini dia tidak mencintai ibunya, ternyata dugaanku selama ini salah!
“Karena itu, selama ibumu masih hidup, cobalah tujukkan kalau Adit benar-benar mencintai ibu, ibumu sangat mengharapkan kehadiran dan perhatianmu”, nasehat mami.
“Pasti semua orang berpikir bahwa Adit selama ini nggak mencintai ibu, membenci ibu!”.
“Selama ini Adit kangen sama ibu, ingin selalu dekat ibu tetapi ibu selalu menjauh kalau didekati, karena itu Adit cari orang lain sebagai pengganti ibu”. Tak kuasa Adit menahan tangis dan terisak-isaklah dia dipundak mami. Adit yang saat itu telah berusia 34 tahun menangis seperti anak kecil.

Kisah selanjutnya pertemuan yang mengharukan terjadi lagi di ruang rawat inap kamar nomor 631 antara seorang ibu dan anak, Tante Yohana dan Adit. Mereka saling berpelukan! . Mulai saat itu telah terjadi perubahan dalam diri Adit, ia begitu larut merawat ibunya, merawat dengan penuh cinta. Tampak kegembiraan mewarnai wajah Tante yang pucat. Rasa gelisah dihati Tante Yohana agak terobati dengan hadirnya sang anak.

Hari-hari berikutnya keadaan Tante Yohana makin memburuk, rasa gelisah semakin tampak diantara rasa sakit yang dideritanya, entah apa yang menggelisahkannya, mungkin ia mulai merasakan bahwa waktunya hampir tiba, memang para dokter sudah angkat tangan. Semakin berjalannya waktu, tampak tante semakin gelisah, sepertinya terjadi penolakan-penolakan di dalam dirinya. Aku jadi teringat tentang apa yang diajarkan oleh Guruku, jangan mencari ketenangan diluar diri, menitilah kedalam diri disitulah rasa damai berada, di hati kita sendiri, tak ada yang terpisah antara aku dan Dia. Segera mami, aku, Adit dan Tante Yohana memejamkan mata menuju keheningan diri, mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Berhari-hari upaya itu dengan tekun dilakukan oleh Tante Yohana, berlahan-lahan ia mulai dapat menerima dirinya sebagaimana adanya, merasakan kedamaian di dalam diri, kini tak ada lagi rasa gelisah di hati, ia siap untuk melanjukan perjalanannya, tepat 14 hari setelah dirawat!. Selamat jalan tante, sampai jumpa dikehidupan berikutnya……………
(Thanks to my late aunt for the inspiration)

Foto-foto diatas merupakan hasil eksperimenku berdasarkan buku-buku tentang handicraft warisan tante saya. Sepeninggal tante saya, banyak buku-buku miliknya yang diberikan pihak keluarga kepada saya, karena tidak ada yang merawatnya.
Beberapa waktu yang lalu, aku merapikan koleksi buku-buku di rumah, ternyata ku temukan kembali buku2 handicraft warisan tanteku, lumayan ada banyak, antara lain tentang membuat lilin hias. Setelah membaca ulang buku tersebut, aku coba praktekan cara membuatnya ditambah modifikasi sana-sini sehingga menjadi model yang berbeda dari produk yang ada di buku tersebut. Inilah hasilnya…….ada yang dibuat dari lilin padat maupun lilin cair….., ada yang dibuat dengan cetakan sederhana maupun cetakan khusus yang dibuat dari sebuah model seperti lilin boneka.

Posted on

Mobil Mewah Impian

“Hallo….ini dengan mbak Rosita?”.
“Baik mbak, iya…kemarin saya cari mbak, saya butuh info”.
“Ya..ya..ya..,bla..bla…bla….”.
“Iya mbak, model yang terbaru”.
“Apa, Lexus?”.
“Serius mbak, serius, saya pasti pesan”.
“Harganya berapa mbak?”.
“Satu milyar seratus juta rupiah !”,teriak lelaki itu keras-keras, tampaknya sengaja sampai para pasien yang sedang menunggu antrian memalingkan wajah kearah dirinya. Entah apa maksud dari lelaki itu bertelepon dengan cara berteriak keras-keras, apakah karena suara di seberang sana kurang jelas, atau memang sengaja supaya semua orang di ruang tunggu itu pada mendengar?.
“Kalau begitu, saya pesan yang warna hitam, ya?”.
“Oiya, di Riau belum ada ya?”.
“Tolong fax nomer rekeningnya nanti saya transfer uang mukanya, berapa….?”.
“Dua puluh persen?”.
“Saya ambil kredit, habisnya dua tahun ya?”.
“Baik, baik, saya tunggu, terima kasih”.
Demikian percakapan, tepatnya teriakkan via telepon yang saya tangkap dari seorang lelaki paruh baya berpenampilan perlente.

Mobil mewah
Mobil Impian

          Sudah beberapa kali saya melihat lelaki itu di klinik herbal ini, tetapi saya tidak tahu siapa namanya. Saya perkirakan dia dari suku batak tetapi berdomisili di Riau. Dari apa yang dipercakapkan dia dengan rekannya di seberang telepon, saya berkesimpulan, sepertinya dia akan memesan mobil mewah Lexus warna hitam seharga 1 milyar seratus juta rupiah, wuihhh………..!
Seperti apa ya rasanya naik mobil semhal itu? Ngebayang kalau saya yang naik, pasti nggak pantes!. Wong ndeso kayak saya cocoknya naik andong!

          Iseng-iseng daripada bosan menunggu antrian nggak ada kerjaan, saya perhatikan lagi gerak-gerik pasien-pasien yang lain, ada yang bengong, ngobrol atau malah tertidur. Yang paling sibuk ya si bapak tadi, dia sedang sibuk membolak-balik buku kecil, sepertinya buku catatan nomer telepon, rupanya dia sedang sibuk mencari nomer telepon seseorang.
“Hallo, nang boru apakabar?”.
“Ya, ya baik, saya sekarang sedang di Jakarta”.
“Nanti setelah urusan selesai, kita makan malam bersama ya?”.
“Jangan lupa uangnya dibawa ya?”.
Apa ya yang sedang diperbincangkan antara Pak tua itu dengan Nang borunya?. Saya tak paham, yang saya tahu cuma Lexus hitam-1 milyard seratus juta rupiah-jangan lupa uangnya ?????????

          Sunyi-senyap lagi suasana di ruang tunggu itu, tampaknya yang ngobrol sudah capek bicara sekarang yang tidur bertambah banyak, termasuk yang melamun juga semakin banyak. Mereka sedang ngelamunin apa ya? Sayang sekali saya tidak bisa melihat layar lamunan mereka, kalo bisa pasti seru deh!
Tiba-tiba pegawai administrasi di klinik herbal itu menghampiri sisi kiri deretan tempat duduk pasien, dia menyerahkan nomer urut kepada dua orang ibu yang sedang menunggu giliran berobat. Kemudian……
“Setelah dua ibu itu, baru giliran bapak dan ibu ya, sesuai dengan daftar urut kehadiran”, kata petugas administrasi kepada pak tua perlente dan istrinya.
Entah mereka mendengar pesan petugas administrasi atau tidak, tapi tampaknya mereka paham karena bapak tua dan istrinya refleks menganggukkan kepala. Saya yang datang belakangan saja paham, pastilah mereka juga tahu tata cara penanganan pasien, siapa yang datang lebih dulu maka dia akan dilayani terlebih dahulu, sesuai urut-urutan daftar hadir.

          Cukup lama kami menunggu, tepat pukul 10.00 wib praktek pengobatan dimulai. Di klinik herbal ini, satu pasien diterapi kurang lebih 30 sampai 45 menit. Kebayang kalau dapat nomer 8 pasti nunggunya lumayan membosankan, 2 ibu tadi nomer 4 dan 5, bapak tua dan istrinya nomer 6 dan 7, saya nomer 8.
Bersamaan dengan keluarnya pasien nomer 3 dari ruang praktek, bapak tua itu sudah berdiri bersiap-siap memasuki ruang praktek, tiba-tiba……petugas administrasi memanggil kedua ibu bernomer 4 dan 5 untuk memasuki ruang praktek.
“Ibu-ibu silahkan masuk……”.
Tapi…ternyata, bapak tua itu tidak terima, dia marah!
Setengah menghardik pak tua berkata: “Mbak, bukannya sekarang adalah giliran saya?”.
“Bapak, giliran bapak nanti setelah 2 ibu ini?”, kata petugas administrasi.
“Gimana sih!”, teriak pak tua kasar.
“Pak, giliran kita nanti pak, setelah 2 ibu ini”, kata sang istri menengahi.
Dengan nada marah, sambil berdiri serta mengajak sang istri, pak tua berkata, “Sudahlah bu, kalau begitu kita pulang saja nggak usah terapi!”.
Ternyata pak tua ngambek!!!!!

          Hari ini saya sungguh tak mengerti dan heran dengan apa yang saya lihat dan dengar. Yang lebih mengherankan lagi, ternyata pak tua itu adalah seorang pendeta! Lexus hitam-1 milyar 100 juta-jangan lupa bawa uangnya-pendeta ngambek!!!!
Dan ternyata ibu Tetty kenalan saya adalah salah seorang yang pernah diajak pak pendeta ikut berobat ke jakarta bersama-sama rombongan dari Riau.Ibu Tetty adalah pasien cancer stadium 3B. Saya berkenalan dengan ibu Tetty di ruang tunggu ini juga, sekitar 6 bulan yang lalu. Enam bulan yang lalu ibu Tetty datang berobat bersama rombongan dari Riau yang dipimpin pak Pendeta.

          Sudah lama saya tidak berjumpa dengan ibu Tetty di klinik herbal, ku coba menghubunginya via handphone.
“Hallo ibu Tetty gimana khabarnya?”.
“Kok sudah lama nggak pernah berobat ke klinik?”.
Baru saya tahu ternyata ibu Tetty terpaksa berhenti berobat karena tidak punya biaya, maklum dia berasal dari keluarga sederhana. Selama ini sudah begitu banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh ibu Tetty untuk mengobati penyakitnya, dari mulai konsul ke dokter, test diagnostik, obat, operasi berulang kali serta kemoterapi yang tentunya menghabiskan biaya yang luaaarrrr biassssa besarrrrnya. Ibu Tettty berkeluh kesah bahwa bisa dibilang seluruh hartanya sudah habis, rumah sudah dijual, malah sekarang hutang menumpuk. Karena itu untuk menjalani pengobatan di klinik herbal ini dia sudah tidak sanggup lagi, mau berhutang kemana lagi??
Sebenarnya saya sedih juga mendengar keluh kesah ibu Tetty, tetapi apa daya kondisi ekonomi saya sebagai pasien cancer, sama-sama mpot-mpotan, istilahnya habis-habisan juga.
Saya pernah memberi usul ke dia supaya minta bantuan pak tua kaya itu yang notabene adalah pendeta, tapi ibu Tetty hanya terdiam sejenak lalu dia berkata, “saya bukan jemaatnya pak pendeta dari Riau itu, saya bisa bergabung dengan rombongan pak pendeta dari Riau karena kebetulan pas mereka mau berangkat ke klinik herbal, saya sedang berada di gereja pendeta itu. Sebenarnya saya orang Medan yang kebetulan sedang berkunjung ke Riau”.

          Saya nggak habis pikir, apakah Tuhan/Gusti Allah/God mengajarkan kita hanya membantu kepada orang yang berasal dari satu perkumpulan yang sama dengan kita saja? Mengapa pak pendeta tua itu tidak sudi membantu? Apakah karena ibu Tetty bukan jemaatnya? Apa karena pak tua nggak punya uang? Sepertinya nggak mungkin deh! Lexus hitam-1 milyard 100 juta bo……..
Semoga apa yang saya dengar dan lihat adalah mimpi belaka!

          Adalah sebuah malapetaka bila seorang yang mengaku dan diaku sebagai Ulama, Uztad, Romo, Pendeta, Pemangku atau apapun sebutannya, masih dikuasai oleh hal-hal yang bersifat luaran dan rendahan, masih bernafsu mengejar kenikmatan duniawi, harta dan tahta, sampai-sampai tak peduli dengan sesama. Lalu apa bedanya dengan tukang jual obat yang suka bekoar-koar pakai toa di pasar-pasar. Ahhhhh…..!!!!

          Lamat-lamat ku dengar alunan lagu…Hare Krishna….Hare Krishna, Krishna, Krishna …Hare….Hare….sungguh menyejukan daripada mikirin pak tua.

___________________
Terinspirasi dari true story, walaupun nama dan tempat adalah fiksi belaka.Selamat jalan ibu Betty semoga bahagia dia sana-RIP.